Apa yang kalian bayangkan kalau melihat gambar itu. Pastinya, kita semua akan berfikir siswa tersebut sedang ujian.
Yupz, dua hari lagi perang akan di mulai. Ujian Nasional untuk jenjang SMP. Perang yang sebenarnya setelah 3 tahun menempa ilmu. Ibarat pisau sudah 3 tahun di asah dan saat ini adalah waktu untuk menggunakannya. Apakah ia sudah tajam ataukah masih tumpul.
Berbagai cara digunakan untuk menajamkan pisau itu, dari pembelajaran rutin setiap hari sampai bimbingan belajar dengan berbagai model.
Menurut kalian UN itu seperti apa sich? Menakutkan seperti hantu kah atau malah suatu hal yang sangat menantang?
Rata-rata siswa saya bilang UN itu lebih seram dari hantu. Takut gak lulus katanya. Sebuah kalimat yang wajar menurut saya. Siapapun orangnya, jika ia mengalami sebuah kejadian yang akan mempengaruhi masa depannya, tentu ia akan takut, tentu dengan kadar yang berbeda-beda. Ada yang menghadapinya dengan santai, ada yang sangat pasrah bahkan ada yang ketakutan setengah mati.
Gak cuma siswa yang mengalami ketakutan itu, gurunya juga takut. Jujur saya mengakui itu. Saya gak berani bilang kalau saya adalah guru yang baik atau guru yang hebat. Saya cuma bisa bilang kalau saya adalah guru yang hanya bisa berusaha sebaik mungkin untuk siswa saya. Saya hanya perantara untuk membuat pisau itu menjadi tajam. Apapun hasilnya nanti saya gak tau.
Sedikit bercerita tentang anak2 saya di sekolah. Sama dengan anak2 lain UN adalah hantu untuk mereka, mungkin lebih menyeramkan dari nenek lampir, pocong atau apalah. Apalagi mapel matematika, karna saya ngajar matematika, pelajaran saya mungkin di anggap seperti rajanya hantu. Padahal saya gak serem lho ^_*
Umumnya siswa perlu banyak waktu untuk mengerjakan soal2 UN yang memerlukan beberapa langkah untuk sampai pada jawaban. Sama halnya dengan mapel lain, keluhan anak2 selalu kalau bahasa indonesia kebanyakan paragraf, panjang2 lagi. Bahasa inggris gak tau artinya. IPA gak tau rumusnya. Nah, lengkaplah penderitaan. Kejadian2 seperti inilah yang bikin guru ketar ketir, takut kalau anaknya gak lulus.
Gak semua siswa bisa memahami kelemahan2nya, gak semua siswa juga bisa bangkit dari ketidakbisaannya. Menurut saya malah 80% siswa malas belajar, dengan jawaban "tergantung nasib aja". Nasib mujur lulus, law lagi gak mujur ya gak lulus. Jawaban yang terlalu pasrah dan tanpa usaha. Jawaban seperti ini yang bikin saya gondok setengah hidup.
Belum lagi kalau siswa bikin masalah atau ada masalah, entah dengan teman atau keluarga. Itu juga pemicu besar siswa berulah di kelas atau di lingkungan sekolah untuk menarik perhatian. Otomatis, daya tangkap pelajarannya juga menurun.
Jadi sebenarnya untuk menjadi lulus itu memerlukan proses yang panjang dan banyak hal yang harus diperhatikan. Begitu pula jika sebaliknya "tidak lulus" juga harus diperhatikan aspek2 penunjangnya, jadi jangan hanya semata2 menyalahkan guru dan pihak sekolah.
Ini bukan pembelaan hanya saja curahan hati. Setiap tahun ketika UN menjelang banyak pemberitaan yang terkadang menyudutkan guru. Kami tidak menginginkan pujian, tapi hanya ingin di hargai, baik itu dari pemerintah ataupun khalayak umum.
Beberapa hari ini saya hanya mendengar pemberitaan tentang kebocoran kunci jawaban atau pengawas yang lengah atau bla..bla...bla...atau mungkin saya yang gak dengar pas berita positifnya. Guru adalah orang tua yang menjadikan anak orang lain menjadi anaknya sendiri, menjadikan seorang anak yang tadinya tidak ia kenal sama sekali menjadi belahan dalam hatinya. Yang dengan segala ketulusan hati ia rawat dan didik dengan harapan anak itu akan menjadi orang yang berguna. Ini adalah harapan semua guru manapun.
Bahkan terkadang guru bisa menjadi orang tua yang sebenarnya bagi anak dibanding orang tua kandungnya. Kenapa saya berkata seperti ini, karna terkadang guru lebih memahami apa yang ada dalam hati anak itu di banding orang tuanya. Banyak orang tua sekarang yang hanya bisa memberikan fasitilas dan materi berlebih pada anak tapi tidak dengan perhatian dan kasih sayang. Sehingga ia mencari2 perhatian itu dengan berbagai kasus dari yang ringan sampai yang berat.
Jadi ketika ada pihak yang selalu mendeskriditkan guru dan dunia pendidikan saya akan merasa sangat sedih sekali. Janganlah berkata jika tak tau isinya. Jangan berbicara jika tak paham masalahnya. Waduh, jadi curhat kemana-mana dech. Kembali ke topik masalah UN tadi, sebenarnya menurut saya UN itu suatu program yang sangat bagus, hanya saja mungkin untuk sistemnya masih harus dibenahi sedikit-demi sedikit.
Saya merasa sedikit tidak adil dengan adanya penentuan standar kelulusan 5,5. Oke, untuk sekolah di kota dan fasilitas yang lengkap didukung dengan lingkungan dan siswa nota bene dengan latar belakang yang baik pasti gak ada masalah berarti. Tapi, coba bandingkan dengan sekolah2 pinggiran yang hampir rubuh, sekolah pedalaman yang tidak ada gurunya, atau sekolah pedalaman yang siswanya bersekolah sesuai musim.
Beberapa sekolah pedalaman di daerah saya ada yang mengikuti musim, maksudnya kalau musim tanam dan musim panen gak ada muridnya. Atau sekolah yang sesuai cuaca, kalau cuaca bagus banyak siswanya tapi kalau cuaca kurang bagus gak ada siswanya". Medan yang susah adalah kendala besar di daerah saya. Bahkan ada anekdot " turun aja syukur, jadi gak usah ngarep lebih"
Jadi, berharap sekali kalau pemerintah bisa lebih perhatian lagi dengan sekolah2 yang belum memenuhi standar.
Seperti saya bilang tadi, berhubung sekarang cuaca sedang tidak mendukung mau gak mau, curhat saya harus di akhiri, saya gak mau ambil resiko leppy saya konslet kesambar petir. Sekali lagi, ini hanya sekedar curhat bukan untuk menghakimi atau mengkritik.
Buat anak2 ku, moga sukses UN nya, lakukan yang terbaik. Jangan nakal2 lagi ya @_@
Tidak ada komentar:
Posting Komentar